Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo…
Bangunlah, bangunlah, Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau, Bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala Panjatlah (pohon) belimbing itu
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak dibagian samping Jahitlah, Benahilah!! untuk menghadap nanti sore
Mumpung bulan bersinar terang mumpung banyak waktu luang
Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!
Tertegun saya membaca dalamnya syair lagu ini. Lagu yang biasa didendangkan orang tua kepada anak-anaknya dahulu didesa desa. Ibu saya pun terkadang masih menyanyikan lagu ini. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Dari sumber yang pernah saya baca, Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.
Menggambarkan hamparan tanaman padi di sawah yang menghijau, dihiasi oleh tiupan angin yang menggoyangkannya dengan lembut. Suatu pemandangan yang sering kita lihat di Indonesia kita yang indah. Yakinlah kawan, negri kita ini sungguh indah. kemudaan bisa disamakan juga dengan pengantin baru. Jadi ini adalah potret usia muda yang (seharusnya) penuh harapan, penuh potensi, dan siap untuk bekerja & berkarya.
Kenapa belimbing? buah belimbing yang bergigir lima itu melambangkan rukun Islam yang lima -semoga saya tidak hanya hapal yang lima namun menjalankannya- dan sari-pati buah itu berguna untuk membersihkan perilaku dan sikap mental kita. Ini harus kita upayakan betapapun licinnya pohon itu, betapapun sulitnya hambatan yang kita hadapi namun tetaplah sekuatnya berusaha.
Anak gembala diartikan sebagai anak muda yang masih dalam tahap awal dari perkembangan spiritualnya. Konotasi inilah yang sering muncul seketika bila orang Jawa menyebut 'bocah angon'. Suatu keadaan yang sedang saya rasakan. Namun pun dapat digambarkan artinya sebagai sosok pemimpin. Ya. Tentu pemimpin yang bertanggung jawab atas apa yang dipikulnya. Hmmm..contoh yang rada sulit untuk kita temui di TV. Kebanyakan hanya megalomaniac narsis saja yang disana.
Pakaianmu berkibar tertiup angin, robek-robek di pinggirnya. Jahitlah dan rapikan agar pantas dikenakan untuk "menghadap" nanti sore. Makna pakaian adalah perilaku atau sikap mental kita. Menghadap bermakna menghadap Allah. Nanti sore melambangkan waktu senja dalam kehidupan, menjelang kematian kita.
Manfaatkan terang cahaya yang ada, Manfaatkan keluasan kesempatan yang ada. Terima kasih Gusti Allah masih memberi kesempatan menikmati tahun 2010 ini. Tahun yang melatih saya agar menjadi lebih kuat dan mempelajari banyak hal. Semoga tahun 2011 saya bisa menjadi manusia yang bisa lebih bermanfaat dan baik.
*dari berbagai sumber
*dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar